DIBESARKAN dalam keluarga Kristen Katolik yang taat, saya meyakini
akan adanya agama dan kehendak Tuhan. Namun, walaupun sejak kecil saya
memeluk agama katolik, saya masih merasa bahwa agama ini tidak memenuhi
apa yang saya harapkan.
Kenangan awal mengingatkan saya pada Minggu khusus di sebuah gereja.
Saya melakukan kegiatan di Gereja seperti biasanya, saya duduk di gereja
lalu melihat sekeliling saya, dan tidak memperhatikan apa yang
diucapkan oleh Pastur, kemudian mata saya tertuju pada langit-langit
gereja, saya menatap aula yang dipenuhi patung dan lukisan dari berbagai
kisah dalam “agama”.
Kemudian saya bertanya pada diri sendiri: Apakah agama ini adalah
kebenaran? Apakah simbol salib yang disembah oleh orang-orang dengan
berlutut dan membungkuk ini benar-benar adalah Tuhan? Serta apakah para
pastur yang mengenakan pawaian mewah yang terbuat dari sutra dan emas
menjadi perwakilan dari kesalehan dan kerendahan hati dan sikap tunduk
mereka kepada Sang Ilahi?.
Entah sejak kapan saya merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres
dengan agama ini. Fakta bahwa Yesus adalah Tuhan, bukannya sebagai
seorang nabi Allah selalu mengganggu pikiran saya. Itu adalah sesuatu
yang tidak masuk akal, sehingga saya tidak bisa menerimanya, dan semua
itu memberikan tanda-tanda bahwa saya mulai meragukan agama Kristen ini
sebagai agama yang benar.
Setelah usia 18 tahun, saya memutuskan kuliah ke sebuah Universitas.
Kala itu, saya merasa bahagia karena menemukan kesempatan untuk keluar
dari kungkungan keluarga katolik. Bahkan, saya merasakan kedamaian dan
kebebasan untuk melakukan beberapa pencarian jiwa yang sudah lama saya
inginkan.
Pertama kali saya kenal dengan Islam, melalui teman-teman muslim dari
berbagai negara, seperti dari Arab Saudi, Bahrain, Mesir, Pakistan,
Turki, Italia, Inggris dan banyak negara lainnya. Mereka datang ke dalam
hidup saya pada saat yang paling tepat, ketika saya banyak membutuhkan
informasi terkait pencarian agama.
Lebih tepatnya, pada tahun 2001 saya mengunjungi teman yang beragama
islam, lalu tanpa sengaja saya melihat Al Qur’an di rak buku yang ada
disebelah saya, tanpa sadar saya langsung melihat dan membacanya,
seolah-olah ada dorongan kuat yang membuat saya melakukan hal tersebut.
Namun, ternyata persitiwa itu tak lantas membuat saya hijrah ke
islam. Akhirnya sekitar satu tahun kemudian, lebih tepatnya sebelum awal
Ramadhan tahun 2002 , pertanyaan-pertanyaan ini selalu terlintas
dipikiran saya : Haruskah aku pergi ke gereja hari ini? Mengapa saya
harus pergi? Siapa yang mempercayai lelucon ini?
Saya tidak percaya bahwa Yesus adalah anak Tuhan, jadi mengapa saya
harus pergi ke gereja. Saya tidak pergi ke gereja untuk menyenangkan
orang tua saya, atau saya pergi ke sana untuk menyenangkan orang-orang
Kristen lainnya. Saya ingin menemukan agama yang benar-benar membuat
hati saya tentram, yang menyatakan bahwa Tuhan itu satu, Tiada Tuhan
selain Allah, dialah islam.
Setelah mendapatkan banyak informasi tentang Islam dan mendapatkan
jawaban memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan yang dulu diutarakan,
semuanya ada pada agama islam. Akhirnya saya memutuskan untuk berhijrah.
Ketika memutuskan untuk pindah agama, saya merasa seperti bayi yang
terlahir lagi ke dunia. Bagaimana tidak, setelah melalui masa pencarian
yang cukup panjang selama bertahun-tahun hidup dalam kebutaan, dan
berjalan dalam kegelapan. Suatu hari, Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang menyinari cahaya-Nya di mata saya, membuat saya terbangun dari
tidur yang panjang, dari penyakit kebutaan yang sudah menjebak saya
sangat lama.
Al Qur’an bagi saya adalah buku panduan hidup, seperti mobil yang
membutuhkan buku panduan untuk berfungsi dengan baik, Al Qur’an adalah
buku panduan hidup saya yang mengatur semua bidang kehidupan, yang
tanpanya saya tidak bisa menjalani hidup ini.
Adapun tanggapan dari orang tua, setelah saya masuk islam cukup baik.
Bahkan, Ayah saya menerima dengan sangat baik dan menghargai pandangan
saya. Akan tetapi berbeda dengan reaksi ibu, pertama kali mendengarnya
ibu saya sangat khawatir pada keputusan saya tersebut. Hal itu wajar,
karena memang ibu saya tidak banyak mengetahui islam. Tapi seiring
berjalannya waktu, saya sering berdiskusi dengan ibu terkait keimanan
yang ada dalam islam, akhirnya ibu pun menerima pilihan saya tersebut.
Dan itu membuat saya semakin bahagia.
Dari kisah perjalanan mualaf saya diatas, ada satu pelajaran penting
yang dapat diambil yaitu saya selalu menasehati teman-teman saya yang
lain dengan ucapan sebagai berikut:
“Dengarkanlah hati Anda, Dengarkanlah tanda-tanda, Dengarkanlah
nasihat-nasihat. Dengarkanlah, maka kebenaran akan ada dan menerimanya,
karena hidup ini tidak untuk selamanya,” demikian On Islam. [iwm/islampos]
DI BESARKAN DALAM KELUARGA KRISTEN YANG TAAT AHIRNYA MEMILIH MASUK ISLAM
06.57