Tak pernah terlintas di benak Raphael NarBaez, pria berkebangsaan Amerika Serikat untuk mempelajari dan bahkan memeluk Islam. Betapa tidak. Dalam dirinya telah tertanam sebuah keyakinan bahwa semua agama, selain yang diyakininya, adalah buruk.
Hingga suatu hari, ia tak lagi meyakini kebenaran agama yang dipeluknya. Narbaez pun memutuskan untuk meninggalkan agamanya. Ia lalu mempelajarinya ulang, dan bahkan sempat tak memeluk agama apapun, setelah itu.
Ia merasa beruntung memiliki satu keyakinan yang tersisa di hatinya. ‘’Aku yakin Tuhan itu ada,’’ ujarnya. Keyakinan itu membawanya pada agama yang Islam, agama yanag diyakininya paling benar.
“Aku yakin, Allah telah merencanakan semua ini bahkan sebelum aku dilahirkan,’’ ungkapnya.
***
Raphael
Narbaez adalah pria kelahiran Texas, California, yang segera dibaptis
sebagai seorang Katolik, tak lama setelah terlahir ke muka bumi. Maklamu
saja, ia berasal dari keluarga Katolik yang taat.Narbaez tumbuh di Lubbock, wilayah Texas yang memiliki banyak gereja dan dihuni komunitas kuat Kristen. Lingkungan tersebut membawanya menjadi seorang ‘saksi Yehuwa’ (Tuhan orang Yahudi).
‘Saksi Yehuwa’ adalah sebuah denominasi umat Kristen pemulih kepercayaan milenialisme, di luar ajaran utama Kristen dan tidak meyakini adanyaa trinitas.
Suatu hari, kata Narbaez, pintu rumahnya diketuk oleh beberapa orang. Mereka mengadakan pengajian Bibel di rumah. Setelah pengajian itu, ia dan keluarganya juga mendatangi gereja para ‘saksi Yehuwa’. Mereka menghadiri sejumlah pertemuan dan bergabung dengan jamaah kebaktian mereka. Mereka pun menjadi bagian dari para saksi Yehuwa.
Narbaez pun dengan penuh semangat mengkaji Bible. Semakin dalam mengkaji dan mendalami Bibel, ia dihadapkan pada sebuah ironi mengenai kitab sucinya itu.
“Siapapun yang familiar dengan naskah tersebut tahu persis bahwa Bibel telah banyak tercemar di sepanjang sejarah. Namun di sisi lain, aku selalu merasa bahwa Bibel yang asli benar-benar berasal dari Tuhan,” katanya. Umat Kristen lainnya pun, kata dia, memuaskan diri dengan pemikiran yang sama, bahwa Bibel yang asli hebat dan logis.
Narbaez mulai belajar lebih banyak dan mendalam Bibel, hingga ia dibaptis sebagai saksi Yehuwa saat memasuki usia 13 tahun. Semenjak itu, ia seperti mendapat suntikan semangat untuk berbuat lebih banyak ‘pekerjaan Tuhan.’
“Sesuatu yang tidak biasa terjadi. Aku diakui dan diberkati untuk menjadi pembicara dalam acara-acara kebaktian. Dan aku mulai berbicara di depan jamaat berjumlah besar,” paparnya.
Bahkan, ia baru berusia 20 tahun saat memiliki jamaat kebaktian sendiri, dan ia semakin mendalami ajaran tentang ‘saksi-saksi Yehuwa. Lalu, setelah melewati banyak kebaktian, doa, dan duka, Narbaez meninggalkan agamanya dan tidak mencoba untuk kembali.
Yang terjadi kemudian, katanya, ia tak dapat berpindah ke agama baru apapun. “Sebagai ‘saksi Yehuwa,’ aku diajari bahwa semua agama tidak baik, bahwa hanya para ‘saksi Yehuwa’ yang mampu membawaku pada penerimaan terhadap Tuhan,” katanya.
Dengan penuh kesadaran, Narbaez tak lagi mempercayai semua ajaran ‘Saksi-saksi Yehuwa,’ juga ajaran agama lainnya. Jadilah ia seseorang tanpa agama.
“Untungnya, aku bukan seorang tanpa Tuhan. Aku masih mempercayai adanya Tuhan yang menciptakan seisi semesta,” katanya.
Ia lalu memutuskan untuk kembali ke gereja, tempat di mana ajarannya berasal. “Aku dilahirkan sebagai seorang Katolik dan menjadi seorang ‘saksi Yehuwa’ sepanjang hidupku, aku kembali ke sana untuk menemukan sesuatu yang mungkin saja telah kulewatkan,” katanya.
Tiga bulan lamanya Narbaez menghanyutkan diri dalam doa-doa, kebaktian dan juga misa. Namun, semua itu tidak mengubah keadaan yang dialaminya. “Sama sekali tidak menarik pikiranku, tidak juga hatiku,” ujarnya.
Hingga pada satu hari, ia berkesempatan bertemu dengan seorang Muslimah yang selalu tampak gembira dan ramah. “Aku memperhatikannya dan tertarik dengan kepribadiannya. Ia memberitahuku banyak hal tentang Islam.”
Setelah itu, tak sedikitpun terbersit niat dalam benaknya untuk memeluk Islam. “Aku hanya berpikir tentang sebuah keinginan menjadi umat Kristen yang baik, dan aku yakin dengan cara Tuhan menjadikanku seorang Kristen taat.”
Narbaez pun kembali mendalami Bibel. Ia melakukannya berjam-jam, terutama saat malam. Ia membaca seluruh isi kitab Perjanjian Baru, dan melahap Perjanjian Lama; Genesis (Permulaan), Deutoronomy (Ulangan), Exodus (Kepergian).
Lalu ketika ia mencapai bagian tentang Prophets (Nabi-nabi), Narbaez tiba-tiba ingin mengistirahatkan matanya sambil berpikir tentang pertemuannya dengan Muslimah yang memberitahunya tentang Islam, tentang menjadi seorang Muslim, tentang Alquran, dan tentang Allah SWT.
“Lalu aku berkata, ‘Baiklah, aku adalah orang dengan pikiran terbuka sekarang. Aku akan mencari tahu tentang itu, bukan sebagai seorang saksi Yehuwa’,” tuturnya.
Mula-mula ia berpikir tentang jumlah Muslim dunia yang mencapai 1,2 miliar. Lalu Narbaez berpikir bahwa ternyata setan tak terlalu hebat untuk bisa memperdaya 1,2 miliar umat Islam, dan ia pun mulai membaca Alquran untuk mencari jawabannya.
Raphael menuntaskan bacaannya, dan mulai menemukan jawaban lebih dari yang diharapkannya. “Segala sesuatunya menjadi jelas. Bahkan, aku bisa memahami Bibel-ku setelah membaca Alquran,” tegasnya. Dan Narbaez menyimpulkannya sebagai cara Tuhan menjadikannya seorang umat Kristen yang baik.
“Tuhan mengajariku lewat Alquran.”
Raphael terus membaca Alquran. Menurutnya, isinya lebih mudah dan lebih ringkas daripada kitab yang sering dibacanya. “Aku mulai meninggalkan Bibel yang pernah kuyakini sebagai perkataan Tuhan.”
Bersamaan dengan itu, Narbaez memiliki keinginan untuk menemui orang-orang Islam pemilik kitab suci tersebut. Ia memilih masjid sebagai tempat yang tepat untuk bertemu mereka, untuk memeriksa kebenaran informasi yang pernah dikatakan oleh wanita Muslim yang pernah ditemuinya.
Dengan menggunakan mobil, Narbaez mendatangi sebuah masjid di California bagian selatan. “Perutku menegang, rasanya seperti ketika kita diharuskan melakukan sesuatu sedangkan kita tidak menginginkannya,” katanya.
Sambil berputar beberapa kali melewati masjid, ia kemudian mencari-cari alasan untuk membatalkan niatnya memasuki masjid tersebut. Ia mendapatkan sebuah alasan. Area parkir masjid tersebut penuh.
‘’Aku akan berputar sekali lagi. Jika tidak ada mobil yang keluar dari halaman masjid, aku akan pulang.”
“Allah Maha Berkehendak,” ujarnya.
Ia menceritakan, saat melintas di depan masjid untuk terakhir kalinya, sebuah mobil keluar. Ia menjadi jauh lebih cemas dari sebelumnya. Namun ia menepati janjinya.
Narbaez menghampiri sekelompok orang yang berbaur di dalam masjid usai shalat berjamaah, saat beberapa di antara mereka menyambutnya sambil mengucap salam. Seseorang yang menyadari bahwa Narbaez adalah orang baru di sana, menggandengnya, mengajaknya berkeliling masjid, dan mengajarinya berwudhu.
Ia terkesima sekaligus takjub. “Aku suka cara mereka (Muslim) menyucikan diri, dan semua amalan yang mereka lakukan,” ujarnya. Ia kagum dengan gerakan ruku dan sujud, yang dimaknainya sebagai ekspresi makhluk yang tidak berdaya di hadapan Tuhan.
Dalam hatinya muncul keinginan yang kuat untuk berdoa dengan cara yang dilakukan Muslim. “Saya merasa seperti pulang kembali ke rumah setelah lama bepergian.” Raphael mantap berislam tak lama setelah itu.
Kemantapan hatinya itu, kata Raphael, bermuara pada Alquran dan hadis. “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat,” ujar Raphael mengutip surah favoritnya, an-Nasr.